Culture lives through the universe of language with its matrix, namely the dimensions of its structure and symbolic system. On the other hand, art is a movement that sustains culture with its creative and transforming power. During this pandemic period, the global society's cultural structures and systems inevitably intensify in accepting and adopting the influence of the triumph of digital communication technology. Realities faced by people daily are absorbed and processed, influenced by the ability of technology to process data, including how algorithms work to provide and process information.
The world of the matrix itself is composed of a series of data that form encrypted codes. These encryptions then create an 'imitation' world which, according to Baudrillard's concept, is called simulacra (Simulacra & Simulation). Baudrillard argues that simulation or imitation can feel more real than actual reality. He called it "Hyper-Real". The argument departs from his study of consumer culture in which humans are surrounded by products of "Representation" or "Imitation" of reality so that life feels more like a simulation. Balinese Hindus use the Mayapada concept as the depiction of the world we live in, deemed as 'unreal' and temporary. Mayapada becomes a mingle place for beings of various quality levels of the soul and becomes a decisive stopover before heading to moksha or the noble end. This concept is presented as part of a curation offer to broaden our spectrum of how the codification system in society works and adapts to changing times. From these two concepts, Matrix and Mayapadha can be perceived as a universe of systems and code structures that try to present a decoding/encoding process for various systems and code structures, starting from the realms of technology, science, culture, social and environment. The idea of this exhibition invites artists to build reality by recalling and encrypting the codes owned by the community with their respective cultural backgrounds and becoming a new awareness amid the simulacrum world created during the pandemic. The main idea of this exhibition departs from the concept of Matrix and Mayapada as an invitation to do a reading on Simulakra (plural). This idea is expected to be able to attract many groups/segments of participants, from manual to digital. The variety of works expected to appear can accommodate various methods of creation in contemporary art, such as painting, graphics, sculpture, new media, activity arts, etc. Artists, via their works, carry out re-encryption (rereading of codes and symbols) and interrogate systems and products of traditional art. In relation to the use of media technology, both in terms of the language system and in the scale of the distribution of works, art can be a means to hack the network provided by technology in order to achieve a harmonious life provided by collective memory (tradition) as social and cultural capital. Artists can re-inscribe (rewrite) long-established custom and hack it into modern life where humans have to compete with intelligent machines in the form of data they produce per se to turn it into a reality. This curation also provides opportunities for the emergence of works in non-binary and disability aesthetic perspectives that own a different code system than the dominant outlook. The Curatorial Team |
Kebudayaan hadir melalui semesta bahasa yang memiliki matriksnya, yaitu dimensi struktur dan sistem simboliknya. Di sisi lain kesenian adalah sebuah gerak yang menghidupi kebudayaan dengan kekuatan kreasi dan daya transformasinya. Selama masa pandemi ini, struktur dan sistem kebudayaan masyarakat global tidak terelakkan semakin intensif dalam menerima dan mengadopsi dampak dari kejayaan teknologi komunikasi digital. Realitas yang dihadapi masyarakat sehari-hari diserap dan diproses, dipengaruhi oleh kemampuan teknologi dalam memproses data, termasuk bagaimana algoritma bekerja menyediakan dan memproses informasi.
Dunia matriks sendiri terhimpun dari rangkaian data yang membentuk kode-kode yang terenkripsi. Enkripsi-enkripsi ini kemudian membentuk dunia ‘tiruan’ yang dalam konsep Baudrillard disebut sebagai simulakra (Simulacra & Simulation). Baudrillard berargumen bahwa simulasi atau imitasi bisa terasa lebih nyata dibandingkan realitas sesungguhnya. Ia menyebutnya sebagai "Hyper-Real". Argumen itu berangkat dari studinya terhadap budaya konsumtif di mana manusia dikelilingi produk "Representasi" atau "Imitasi" dari realitas sehingga hidup lebih terasa seperti simulasi. Masyarakat Hindu Bali menggunakan konsep Mayapada sebagai gambaran dunia tempat kita tinggal yang dilihat sebagai ‘tidak sejati’ dan sementara. Mayapada menjadi tempat percampuran mahluk-mahluk dari berbagai kualitas tingkatan jiwa, dan menjadi persinggahan yang menentukan untuk menuju moksha atau akhir yang mulia. Konsep ini dihadirkan sebagai bagian dari tawaran kurasi untuk memperluas spektrum kita terhadap bagaimana sistem kodifikasi dalam masyarakat bekerja dan beradaptasi dalam perubahan zaman. Dari kedua konsep ini, maka Matrix dan Mayapada adalah dapat dilihat sebagai semesta sistem dan struktur kode yang mencoba menghadirkan proses dekoding/enkoding atas berbagai sistem dan struktur kode, dari mulai ranah teknologi, sains, budaya, sosial dan lingkungan hidup. Gagasan pameran ini mengajak para perupa untuk membangun realitas dengan memanggil ulang dan meng-enkripsi kode-kode yang telah dimiliki oleh masyarakat dengan latar kebudayaannya masing-masing dan menjadi sebuah kesadaran baru di tengah dunia simulakrum yang tercipta selama pandemi berlangsung. Gagasan pokok pameran ini berangkat dari konsep Matrix dan Mayapada sebagai ajakan untuk melakukan pembacaan atas simulakra (jamak). Gagasan ini diharapkan mampu menjaring banyak kalangan/segmen peserta, dari yang manual sampai digital. Ragam karya yang diharapkan tampil dapat mengakomodasi berbagai metode penciptaan dalam seni rupa kontemporer, seperti seni lukis, grafis, patung, media baru, seni aktivitas, dll. Seniman melalui karya-karyanya melakukan re-enkripsi (pembacaan ulang atas kode-kode dan simbol) dan interogasi terhadap sistem dan produk seni tradisi. Dalam kaitan dengan penggunaan teknologi media baik dalam persoalan sistem bahasa maupun dalam skala persebaran karya, seni bisa dipakai untuk meretas jaringan yg disediakan oleh teknologi guna menggapai hidup harmoni, yang disediakan oleh memori kolektif (tradisi) sebagai modal sosial dan budaya. Seniman dapat melakukan re-inskripsi (menulis ulang) tradisi dan meretasnya memasuki kehidupan modern di mana manusia harus bersaing dengan mesin cerdas dalam bentuk data yang mereka produksi sendiri sehingga menjadi sebuah realitas. Kurasi ini juga memberikan peluang bagi munculnya karya-karya dalam perspektif estetika non-binary dan disabilitas yang memiliki sistem kode berbeda dengan cara pandang dominan. Tim Kuratorial |