NANDUR SRAWUNG #9
  • HOME
  • CURATORIAL
  • NANDUR GAWE
  • EXHIBITION
  • SRAWUNG SINAU - NS9
    • Hardiwan Prayoga
    • Jasmine Haliza
    • Nafa Arinda
    • Pandu Paneges
    • Shalihah Ramadhanita
  • AWARD
    • LIFETIME ACHIEVEMENT
    • YOUNG RISING ARTIST
  • ABOUT
Picture
Picture

Yuda Optiffiny

Fruitlab #2-#3
graphic print on acrylic UV
4 pieces, 90 x 60 cm
​2022
Konsep:
​Dua tahun terakhir, beberapa pesta dijajakan secara virtual. Fenomena pandemic Covid-19 telah menitipkan satu hal penting kepada kita; bagaimana manusia mencurigai makna 'jarak”. Bagaimana dunia kini dan hari depan kelak, telah ter-iris menjadi dua bagian penting daring dan luring. Manusia telah diperkenankan untuk merayakan banyak pesta, berkumpul dan bersosial di dunia mana saja yang mereka suka; dengan tampilan yang tidak lagi murni/penuh sebagai 'dirinya'. Digoda oleh budaya berkumpul menggunakan avatar ( dirinya yang lain ) di berbagai platform digital. Satu hal yang patut kita rayakan ialah bagaimana manusia secara sukarela telah andil dalam menciptakan dunia yang baru ( simulacra ), dengan metode bersosial yang telah berkembang dari era psychal kepada yang non-psychal dan diminta untuk segera mempersiapkan diri dengan budaya temu-semu (psychal intellegence ). Mempersiapkan diri sedini mungkin untuk larut dalam era kulminasi digital di hari depan, yang secara inheren telah kita cicil pada hari ini. Perkembangan budaya temu semacam itu yang berada di dalam dunia digital telah mengajarkan kita banyak hal. Satu hal penting yang sempat saya catat ialah seringkali Seni hadir sebagai alat untuk mensiasati visual yang kita anggap kurang baik untuk tampil di dalam dunia digital. Contohnya adalah filter atau effect pada sebuah aplikasi Instagram (?) dan banyak lagi. Secara tidak langsung, kita telah menciptakan dunia simulacra ( dunia yang dibentuk oleh permainan citra ). 
Beririsan dengan itu, secara tematis karya ini berupaya untuk mengangkat sebuah fenomena sortasi buah yang dilakukan di beberapa supermarket dan mall. Dimana buah yang memiliki cacat warna pada kulitnya, akan dijual di pasar tradisional sebagai penurunan grade atau turunnya kualitas barang. Kadang-kadang, ketika pasar modern kekurangan pasokan, buah yang memiliki mutu fisik yang kurang baik disiasati dengan taktis kimiawi tertentu seperti gadis yang ingin dilamar oleh tuan tanah dengan baju-baju yang mahal dan make-up sangat tebal. 
Beberapa minggu yang lalu, ada sebuah ritus kecil yang kerap saya lakukan sepulang kerja, dan juga ketika saat jam istirahat kantor. Ide format karya ini muncul dari sebuah rutinitas kerja ketika melewati sekelompok kecil pedagang buah yang berada di pelataran Mall Atom, Pasar Baru, Jakarta Pusat ( makan siang ). Serta fenomena lain yang saya saksikan ketika melintasi pedagang buah berjejalan di sepanjang jalan Pasar Kranji Bekasi ketika terjebak macet sepulang kerja. Para pedagang disana ( pelataran Mall Atom & Pasar Kranji ) memilih sikap demokratis untuk memajang buah yang mereka jual tanpa harus mengkurasi mutu buah berdasarkan warna belang dan gradual ataupun bercak hitam pada kulit buah tersebut. Sedangkan aktivitas sortasi yang dilakukan di beberapa Supermarket dan Mall sebagai representatif kelas premium lebih memilih sikap tanpa kompromistis untuk mengkurasi buah berdasarkan kecantikan visualnya, yang kemudian beberapa yang tersortasi itu jatuh di tangan para pedagang di pasar tradisional. Beberapa yang masih layak jual dengan mutu fisik dan kulit buah yang belum memiliki warna kuning atau oren yang merata akan disiasati dengan penerapan teknologi degreening menggunakan etilen demi menunjang kebutuhan pasar. 
Secara empiris, rutinitas kerja sebagai desainer grafis pada sebuah perusahaan kemitraan yang bergerak di bidang F&B (food & beverages ) pun menghadirkan kegiatan mengkurasi “kecantikan" yang saya bicarakan tadi. Misalnya satu dari banyaknya pengalaman itu ketika saya dihadapkan dengan tugas untuk mempercantik mengedit sebuah singkong yang tampak pucat agar terlihat lebih overcooked menggunakan Photoshop. Dari sana saya mencatat sebuah narasi penting bagaimana sesuatu yang dipanggungkan seringkali “ yang cantik” dan "dipercantik”. 
Karya berjudul “Fruitabela” ini meminjam nama sebuah supermarket sayur dan buah-buahan yang cukup premium, sebagai sebuah mockery sekaligus juga sebuah upaya memparodikannya. Karya ini menampilkan dua buah karya series berjumlah 4 panel yang masing-masing dicetak di atas medium panel akrilik UV berukuran 90 x 60 cm. Secara artistic, saya berupaya mendistorsikan bentukan buah yang asli dengan menggunakan sebuah tools sederhana pada software adobe photoshop ( liquify): sebagai metafor kecantikan yang seringkali diprejudice oleh banyak aspek disekitarnya seperti sejarah, sosial, agama, budaya, teknologi, politik dan banyak lagi, sehingga kemudian *kecantikan yang kita kenal hari ini, yakni kecantikan yang harus “layak pentas” dan jauh dengan kesejatian dirinya (bare-face). Lagi-lagi Seni hadir sebagai alat untuk mencegah segala kecacatan artistik atau visual di dunia digital, bekerja sebagai alat pemenuhan pada percepatan tumbuhnya dunia simualakra' itu. 
Fruitabela_Yuda Optiffiny 2022 

Nandur Srawung

Annual visual arts exhibition
​

Taman Budaya Yogyakarta
Sriwedani st. no.1,
Yogyakarta, Indonesia​
Powered by Create your own unique website with customizable templates.
  • HOME
  • CURATORIAL
  • NANDUR GAWE
  • EXHIBITION
  • SRAWUNG SINAU - NS9
    • Hardiwan Prayoga
    • Jasmine Haliza
    • Nafa Arinda
    • Pandu Paneges
    • Shalihah Ramadhanita
  • AWARD
    • LIFETIME ACHIEVEMENT
    • YOUNG RISING ARTIST
  • ABOUT